HYPEVOX – Di dunia pendidikan saat ini, penggunaan teknologi seperti AI semakin berkembang pesat, termasuk alat seperti ChatGPT. Namun, ada perdebatan yang signifikan tentang aspek etis penggunaan AI di ruang kelas.
Baru-baru ini, kasus yang menarik perhatian muncul dari Northeastern University di Massachusetts, AS. Seorang mahasiswi bernama Ella Stapleton mengajukan permintaan untuk mengembalikan uang kuliahnya sebesar USD 8.000.
Alasan dari permintaan ini cukup sederhana, namun menggelitik: ia menuduh dosennya menggunakan ChatGPT untuk menyusun materi ajar, meskipun selama ini dosen itu melarang mahasiswa menggunakan AI dalam studi mereka.
Kontroversi Penggunaan AI
Ella merasa berhak meminta pengembalian uang kuliah karena merasa tertipu. Pasalnya, dosen tersebut pernah menegaskan pentingnya keterlibatan langsung mahasiswa dan melarang mereka bergantung pada AI dalam proses belajar-mengajar.
Ternyata, Ella melakukan investigasi sendiri. Dia memeriksa materi kuliah dan menemukan tanda-tanda penggunaan AI yang tidak disengaja. Misalnya, typo dan teks yang tidak koheren yang seringkali muncul dalam hasil keluaran AI.
Kejadian ini menggugah banyak pertanyaan tentang ethical use of technology dalam pendidikan. Apakah wajar jika dosen menggunakan teknologi yang sama yang dilarang kepada mahasiswanya?
Tanggapan dari Kampus
Setelah menerima permintaan Ella, pihak Northeastern University menolak untuk mengembalikan uang kuliah tersebut. Mereka berargumentasi bahwa penggunaan AI generatif masih diperbolehkan, asalkan penggunaannya jelas dan diperiksa ulang.
Bukan berarti kasus ini selesai begitu saja. Pesan dari Ella yang menuntut kejelasan dalam penggunaan AI di ruang kelas ini membuat dosen yang bersangkutan kembali mengevaluasi cara ia mempersiapkan materi ajarnya. Ini merupakan langkah positif demi meningkatkan pengalaman pendidikan.
Penggunaan AI di Pendidikan
Kasus Ella mengingatkan kita bahwa penggunaan teknologi di kelas harus dilakukan dengan bijak. Dosen dan mahasiswa harus sama-sama menyadari potensi dan risiko yang ada.
Di satu sisi, AI dapat membantu dalam menyusun materi, tetapi di sisi lain, ada tanggung jawab moral untuk melibatkan siswa secara aktif dalam proses belajar. Dan itu bukan hanya masalah di Northeastern University saja. Masalah serupa terjadi di tempat lain, di mana mahasiswa melaporkan dosen mereka menggunakan ChatGPT tanpa pemberitahuan yang jelas.
Dampak Lebih Luas
Situasi ini juga membuka diskusi lebih jauh mengenai dampak AI dalam pembelajaran. Beberapa guru, termasuk di sekolah menengah, melaporkan bahwa siswa semakin sulit membaca teks tertulis karena terbiasa dengan teknologi yang ‘membacakan’ teks.
Ada keluhan bahwa ChatGPT digunakan untuk menyelesaikan soal-soal mudah, yang membuat siswa lebih sulit untuk belajar secara mandiri. Bagaimana AI membentuk cara kita belajar dan mengajar adalah pertanyaan besar yang belum sepenuhnya terjawab.
Dengan semua perdebatan ini, jelas bahwa dunia pendidikan harus beradaptasi dan mengeksplorasi saldo antara penggunaan teknologi dan keterlibatan manusia.
Kasus Ella Stapleton menjadi pengingat bahwa meskipun teknologi menawarkan banyak kemudahan, penting untuk memastikan bahwa pendidikan tetap menjadi proses yang menyeluruh dan manusiawi.
Saat kita melangkah ke masa depan, penting bagi institusi pendidikan untuk memiliki panduan yang jelas tentang penggunaan teknologi seperti AI dan menjauhkan diri dari kesalahan yang bisa merugikan mahasiswa dan dosen untuk menjaga integritas pendidikan.