Polemik Status Kepemilikan Empat Pulau di Perbatasan Aceh dan Sumatera Utara

Share
  • 13 Juni 2025

HYPEVOX – Status kepemilikan empat pulau di perbatasan Aceh dan Sumatera Utara (Sumut) semakin memanas setelah Kementerian Dalam Negeri menetapkan pulau-pulau tersebut milik Kabupaten Tapanuli Tengah.

Keempat pulau itu, yakni Pulau Panjang, Pulau Lipan, Pulau Mangkir Kecil, dan Pulau Mangkir Besar, kini diklaim oleh Pemerintah Aceh sebagai bagian dari wilayahnya.

Rincian Keempat Pulau yang Disengketakan

Keputusan mengenai status Pulau Panjang, Pulau Lipan, Pulau Mangkir Kecil, dan Pulau Mangkir Besar diambil berdasarkan Keputusan Mendagri Nomor 300.2.2-2138 Tahun 2025 yang menggarisbawahi bahwa pulau-pulau tersebut berada di bawah Kabupaten Tapanuli Tengah.

Pulau Panjang, meskipun tak berpenghuni dengan luas 47,8 hektare dan berjarak 2,4 kilometer dari Tapanuli Tengah, memiliki infrastruktur seperti musholla dan dermaga yang dibangun oleh Pemkab Singkil. menurut Pemerintah Aceh, infrastruktur ini menjadi pertanda bahwa Pulau Panjang adalah bagian dari wilayah Aceh.

Sementara Pulau Lipan, yang luasnya hanya 0,38 hektare dan berjarak 1,5 kilometer dari Tapanuli Tengah, malah merupakan pulau yang hampir tenggelam. Namun, konfirmasi dari Pemprov pada 2009 menunjukkan bahwa sebelumnya pulau ini dikenal sebagai Pulau Malelo.

Pulau Mangkir Kecil dan Pulau Mangkir Besar juga tak berpenghuni, tetapi keduanya dilengkapi dengan tugu batas dan prasasti dari Pemerintah Aceh untuk menguatkan klaim atas wilayah tersebut.

Buktikan Klaim dengan Tugu dan Prasasti

Pemerintah Aceh mengklaim bahwa keberadaan tugu dan prasasti di Pulau Mangkir Kecil, yang dibangun pada tahun 2008 oleh Pemprov Aceh, menjadi bukti klaim mereka. Tugu tersebut menunjukkan pernyataan formal dari pemerintah yang menganggap memiliki hak atas pulau tersebut.

Di Pulau Mangkir Besar, meskipun infrastruktur lain tidak terlihat, tugu batas wilayah yang terpasang oleh Pemerintah Aceh menambah bobot argumentasi bahwa pulau ini berada di bawah hak Aceh. Meskipun empat pulau tersebut tidak berpenghuni, perangkat administratif tetap berfungsi untuk mengklaim mereka.

Kepala Badan Pengelola Migas Aceh, Nasri Djalal, juga menegaskan bahwa meskipun keempat pulau berdekatan dengan Wilayah Kerja Offshore West Aceh, mereka tidak termasuk dalam cakupan wilayah kerja migas tersebut. ‘Secara umum, keempat pulau tersebut berdekatan dengan Wilayah Kerja (WK) Offshore West Aceh (OSWA) dan tidak termasuk ke dalam WK OSWA,’ ujarnya.

Klaim Historis dan Yuridis dari Pemerintah Aceh

Pemerintah Aceh menegaskan bahwa keputusan Kemendagri bertentangan dengan sejarah dan bukti yuridis lainnya. Mereka menyatakan bahwa pulau-pulau tersebut secara historis terkait dengan Aceh, dan mengacu pada surat keputusan dari tahun 1965 sebagai landasan legal bagi klaim tersebut.

Kepala Dinas ESDM Aceh, Taufik, mengatakan bahwa pihaknya sedang menggali data mengenai potensi migas di kawasan tersebut. Dia menjelaskan, ‘Kami lagi cari data akurat, memang itu pernah menjadi wilayah kerja migas. Potensinya memang pernah ada sumur-sumur (migas) tua, tapi informasinya lagi kami gali kembali.’

Polemik mengenai status kepemilikan keempat pulau ini pun menjadi perhatian berbagai pihak, termasuk Kemendagri, yang berupaya mencari solusi melalui jalur administratif dan legal.