HYPEVOX – Mantan pejabat Mahkamah Agung, Zarof Ricar, terpaksa menerima vonis 16 tahun penjara oleh majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi di Jakarta pada Rabu (18/6/2025). Dia dinyatakan bersalah melakukan suap dan menerima gratifikasi yang terkait dengan penanganan kasus pembunuhan Ronald Tannur.
Hakim ketua Rosihan Juhriah Rangkuti menegaskan bahwa tindak pidana yang dilakukan Zarof berpotensi merusak kepercayaan masyarakat terhadap institusi hukum. Kasus ini menunjukkan betapa pentingnya menjaga integritas sistem peradilan di Indonesia.
Putusan Hakim dan Pertimbangan Majelis
Dalam keputusan yang dibacakan, majelis hakim menghukum Zarof dengan penjara 16 tahun dan denda Rp1 miliar, dengan subsider 6 bulan kurungan. Hakim Rosihan menekankan, ‘Menjatuhkan pidana 16 tahun penjara mempertimbangkan bahwa jika dijatuhi 20 tahun, Zarof akan menjalani hukuman hingga usia 83 tahun.’
Zarof Ricar dijatuhi sejumlah pelanggaran dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Selain itu, hakim juga menyoroti bahwa tindakan pemidanaan ini berakibat negatif bagi upaya pemerintah memerangi korupsi yang semakin mendesak.
Dalam sesi pembacaan keputusan, hakim menyatakan bahwa tindakan korupsi oleh Zarof telah mencederai nama baik Mahkamah Agung serta menghilangkan kepercayaan masyarakat. Hakim Rosihan juga menambahkan, ‘Perbuatan terdakwa menunjukkan sifat serakah di masa purnabakti.’
Hakim mempertimbangkan bahwa meskipun terdakwa menyesali perbuatannya dan belum pernah dihukum sebelumnya, tindakan yang telah dilakukan sangat merugikan masyarakat dan negara.
Kasus Suap yang Terungkap
Zarof Ricar terlibat dalam skandal suap yang berkaitan dengan perkara pembunuhan Ronald Tannur, dituduh memberikan suap senilai Rp5 miliar kepada hakim. Hal ini terjadi dalam pemufakatan bersama penasihat hukum Ronald Tannur, Lisa Rachmat, untuk menyuap Hakim Agung Soesilo.
Tak hanya suap, Zarof juga menghadapi dakwaan atas gratifikasi sebesar Rp915 miliar serta emas seberat 51 kilogram yang didapatnya selama menjabat antara tahun 2012 hingga 2022. Gratifikasi ini diyakini berkaitan dengan pengurusan perkara yang dilakukan selama masa tugasnya di Mahkamah Agung.
Majelis hakim menunjukkan kepedulian terhadap perkembangan kasus lain yang dihadapi Zarof terkait dugaan pencucian uang. Hakim menggarisbawahi betapa pentingnya penegakan hukum yang tegas untuk memastikan integritas dan kepercayaan terhadap sistem peradilan tidak terganggu.
Sejak awal penuntutan, Zarof berupaya membantah semua dakwaan, namun hakim menolak permohonan tersebut dan menyatakan bahwa tindak pidana yang dilakukan sangat merugikan masyarakat dan negara.
Respon dan Konsekuensi Lebih Lanjut
Vonis yang dijatuhkan kepada Zarof menjadi momen refleksi bagi individu terkait dampak perbuatannya terhadap masyarakat. Publik kini menantikan langkah lanjutan terkait penyidikan dugaan tindak pidana pencucian uang yang saat ini sedang berjalan.
Sebelumnya, pihak penuntut umum meminta hukuman maksimal 20 tahun, dan meski majelis hakim memutuskan untuk tidak mengabulkan seluruhnya, mereka tetap menyampaikan pentingnya memberikan efek jera. Hakim mengingatkan, ‘Hukuman yang dijatuhkan diharapkan dapat menjadi peringatan bagi pihak lain untuk tidak melakukan tindak pidana serupa.’
Kejadian ini mendorong pengacara dan aktivis hukum untuk menuntut adanya reformasi lebih lanjut di lembaga peradilan. Harapan ini muncul seiring dengan meningkatnya perhatian publik terhadap transparansi dan akuntabilitas dalam lembaga hukum di Indonesia.
Opini masyarakat banyak ditujukan pada bagaimana tindakan korupsi dapat merusak reputasi lembaga dan kepercayaan publik terhadap penegakan hukum. Hakim menekankan bahwa tindakan terpidana adalah tindakan yang sangat merugikan dan dapat menghancurkan kepercayaan publik.