HYPEVOX – Pungutan liar atau pungli menjadi isu serius di Indonesia, termasuk di Tangerang Selatan. Di tengah upaya peningkatan ekonomi, banyak pedagang justru terjerat oleh praktik ilegal yang dijalankan oleh oknum-oknum tertentu.
Seperti yang dialami oleh Darmaji dan para pedagang lainnya, mereka diwajibkan membayar biaya sewa kepada organisasi kemasyarakatan atau ormas, meskipun lahan yang mereka tempati merupakan milik Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG). Praktik seperti ini menggambarkan adanya keseluruhan sistem yang seharusnya melindungi pelaku usaha, namun justru terjerat oleh premanisme yang merugikan.
Biaya yang Membebani Para Pedagang
Darmaji mengungkapkan fakta mencengangkan saat mengetahui bahwa ia membayar sewa bulanan sebesar Rp 3,5 juta kepada Yani, yang merupakan oknum dari ormas. Uang tersebut kabarnya digunakan untuk biaya keamanan dan listrik, namun menyimpan banyak tanda tanya karena tidak ada transparansi dalam pengelolaannya.
Jumlah yang dibayarkan ini turut menghabiskan anggaran yang seharusnya digunakan untuk pengembangan usaha mereka. Untuk membangun lapak, banyak pedagang yang harus mengeluarkan modal yang sangat besar, seperti yang dilakukan Darmaji dengan mengeluarkan sekitar Rp 70 juta untuk pengecoran dan pembangunan atap.
Ini menimbulkan pertanyaan mendalam tentang keberlanjutan usaha mereka di tengah beban yang berat.
Mengungkap Modus Pungutan Liar
Berdasarkan laporan dari pihak kepolisian, modus yang digunakan oleh ormas adalah melakukan pungutan liar kepada pedagang yang berjualan di area tersebut. Meskipun mereka mengklaim bahwa uang sewa tersebut termasuk biaya perizinan, nyatanya, praktik ini tidak memiliki dasar hukum yang jelas.
Para pedagang merasa terjebak dalam sistem yang tidak adil ini dan berharap ada perlindungan dari pihak berwenang. Masyarakat dan pemerintah lokal seharusnya bertindak tegas terhadap praktik-praktik seperti ini untuk memberikan keadilan bagi para pelaku usaha yang sudah berusaha keras mencari nafkah.
Dampak Sosial dan Ekonomi bagi Pedagang
Dampak dari pungutan liar ini sangat luas. Selain mengurangi keuntungan pedagang, pungli ini juga berpotensi menghentikan perekonomian kecil di lingkungan masyarakat. Para pedagang yang terpaksa membayar pungutan tersebut sering kali tidak dapat berinvestasi lebih dalam usaha mereka, hingga risiko kehilangan lapak sangat tinggi.
Hal ini bukan hanya merugikan pedagang, tapi juga berimbas pada kesejahteraan masyarakat sekitar yang bergantung pada ekonomi pedagang lokal. Keputusan-keputusan yang diambil oleh oknum tertentu dapat menyebabkan ketidakberdayaan dan instabilitas ekonomi di komunitas tersebut.
Aksi Penegakan Hukum oleh Pihak Berwenang
Kasus pungli ini telah menarik perhatian dari pihak berwenang, yang mulai mengambil tindakan tegas terhadap pelaku-pelaku di balik ormas. Penangkapan sejumlah anggota organisasi tersebut menunjukkan bahwa pemerintah mulai merespons keluhan masyarakat dengan serius.
Langkah-langkah hukum yang diambil diharapkan bisa menjadi sinyal bahwa upaya memberantas pungli sedang diperjuangkan. Namun, ini juga menjadi tantangan untuk menciptakan solusi yang lebih permanen dan menyeluruh agar praktik-praktik seperti ini tidak terulang kembali di masa mendatang.
Pentingnya Kesadaran dan Kreasi Solusi Alternatif
Tantangan yang dihadapi oleh para pedagang di Tangsel tidak bisa dipandang sebelah mata. Di sini, pentingnya kesadaran kolektif masyarakat untuk bergandeng tangan melawan pungli menjadi sangat penting. Edukasi bagi pedagang tentang hak mereka dan mekanisme pengajuan keluhan perlu digalakkan agar mereka bisa melindungi diri.
Masyarakat juga harus mendorong pemerintah untuk menyediakan ruang bagi ekonomi yang lebih adil, di mana keberadaan agen-agen resmi yang dapat memberikan izin secara legit, bebas dari praktik pungli. Dengan demikian, dapat tercipta keadilan sosial dan ekonomi bagi semua pelaku usaha.