HYPEVOX – Isu royalti musik kembali menjadi perbincangan hangat setelah adanya kabar bahwa penyelenggara acara pernikahan diwajibkan membayar royalti sebesar dua persen saat memutar lagu. Kebijakan ini mengundang perhatian publik dan menjadikan Wahana Musik Indonesia (WAMI) sebagai sorotan utama.
Reaksi beragam pun muncul di media sosial, menimbulkan pertanyaan mengenai bagaimana aturan ini akan diterapkan. Beberapa pendapat dari ahli hukum juga mencuat terkait royalti di acara non-komersial, menambah kompleksitas isu ini.
Penjelasan WAMI tentang Royalti Musik
Robert Mulyarahardja, Head of Corcomm WAMI, memberi penjelasan bahwa pembayaran royalti itu penting ketika musik diputar di ruang publik, termasuk di acara pernikahan dan ulang tahun. Ia menegaskan, ‘Ketika ada musik yang digunakan di ruang publik, maka ada hak pencipta yang harus dibayarkan. Prinsipnya seperti itu.’
Ia menambahkan bahwa untuk acara tanpa tiket, tarif royalti yang dikenakan adalah dua persen dari total biaya produksi musik, mencakup sewa sound system dan honorarium musisi. Prosedur pembayaran juga telah dirinci, di mana penyelenggara acara wajib mengirimkan biaya ke rekening Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN).
Selanjutnya, Robert menjelaskan, ‘Pembayaran ini kemudian disalurkan LMKN kepada LMK-LMK di bawah naungannya, dan kemudian LMK menyalurkan royalti kepada komposer yang bersangkutan.’ Kejelasan prosedur diharapkan membuat penyelenggara acara lebih paham akan kewajiban mereka.
Pendapat Ahli Hukum Terkait Royalti di Acara Non-Komersial
Prof Ahmad M Ramli, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, memberikan sudut pandang berbeda. Ia menilai bahwa acara non-komersial seperti pernikahan tidak seharusnya diwajibkan membayar royalti, karena UU menyebutkan bahwa sepanjang tidak komersial, tidak ada penarikan royalti.
Ramli menjelaskan, ‘Karena UU ini mengatakan sepanjang tidak komersial, enggak ada [penarikan royalti]. Justru orang yang menyanyikan di rumah, ada ulang tahun, ada organ tunggal, itu adalah agen iklan yang tidak kita suruh.’ Hal ini mengundang pemikiran baru tentang bagaimana publik menggunakan lagu di acara pribadi mereka.
Ia juga menggarisbawahi bahwa undang-undang seharusnya mendorong lebih banyak penggunaan lagu dengan menyebutkan sumbernya, terutama dalam konteks pendidikan atau acara tanpa pungutan. Namun, untuk keperluan komersial, menurutnya, royalti memang harus dibayarkan.
Perbedaan Pendapat dalam Praktik Musik di Indonesia
Ketegangan antara regulasi dan praktik penggunaan musik pun semakin jelas, menciptakan kesenjangan antara apa yang ditetapkan dan kenyataan di lapangan. Ramli mencatat bahwa dalam UU Hak Cipta Pasal 44, ada ketentuan yang memungkinkan penggunaan lagu tanpa melanggar hak cipta jika sumbernya jelas.
Keputusan terkait penanganan royalti ini tentu akan berdampak besar terhadap cara orang mengadakan acara di masa depan. Masyarakat kini menunggu respons terhadap kebijakan WAMI yang baru saja dikeluarkan.
Dengan munculnya berbagai pendapat di kalangan publik, penting untuk mengklarifikasi regulasi ini agar tidak menimbulkan kebingungan. Seiring waktu, bagaimana masyarakat merespons kebijakan ini akan menjadi hal menarik untuk diperhatikan.