HYPEVOX – Fenomena ‘Childfree’, yaitu keputusan pasangan untuk tidak memiliki anak, semakin marak di seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Keputusan ini terus memicu perdebatan serta stigma di masyarakat setempat.
Menurut data, sekitar 8 persen perempuan usia produktif di Indonesia memilih untuk hidup tanpa anak, mencerminkan perubahan pola pikir terkait peran orang tua dan struktur keluarga.
Fenomena ‘Childfree’ di Berbagai Negara
Fenomena ‘Childfree’ memang bukan hal baru, namun kini mendapat perhatian di tingkat global. Di Jepang, misalnya, sekitar 27 persen perempuan berusia 50 tahun memilih untuk tidak memiliki anak, dengan alasan mulai dari tekanan ekonomi hingga kesulitan menyeimbangkan karier dan keluarga.
Sementara di Korea Selatan, banyak generasi muda yang menunda pernikahan serta kelahiran anak karena kondisi ekonomi yang tidak mendukung. Meskipun ada insentif pemerintah untuk mendorong kelahiran, hasilnya belum memberikan dampak yang signifikan.
Di Rusia, pemerintah bahkan mengesahkan undang-undang melarang ‘propaganda childfree’, yang menunjukkan bahwa gerakan ini dianggap sebagai ancaman terhadap nilai-nilai keluarga tradisional. Hal serupa terjadi di Hungaria, di mana ketidakpastian ekonomi menjadi alasan banyak orang memilih untuk tidak memiliki anak.
Sebaliknya, negara-negara Eropa seperti Finlandia dan Austria melaporkan angka tinggi perempuan yang memilih childfree, masing-masing mencapai 20 persen dan 21 persen dari total populasi perempuan.
Perkembangan ‘Childfree’ di Indonesia
Di Indonesia, fenomena childfree mulai mencuat sejak tahun 2020, dengan sekitar 8 persen perempuan usia produktifT memilih untuk tidak memiliki anak. Pilihan ini menunjukkan adanya pergeseran pola pikir di kalangan generasi muda mengenai peran orang tua dan definisi keluarga.
Walaupun childfree merupakan hak individu, stigma dan pandangan negatif dari sebagian masyarakat masih ada. Banyak yang berpegang pada pandangan bahwa memiliki anak adalah kewajiban dalam pernikahan.
Faktor-faktor di balik keputusan untuk childfree di Indonesia juga mirip dengan di negara maju, termasuk tekanan ekonomi, kebebasan individu, dan pengalaman hidup yang bervariasi. Generasi muda semakin cenderung memilih pengembangan diri dan karier ketimbang membesarkan anak.
Fenomena ini tidak hanya terbatas pada kota besar, tetapi juga mulai terlihat di daerah-daerah lain, mencerminkan perubahan yang lebih luas di dalam pandangan masyarakat tentang anak dan keluarga.
Tantangan dan Stigma terhadap Pilihan ‘Childfree’
Meskipun jumlah pasangan yang memilih childfree meningkat, stigma negatif tetap mengakar dalam masyarakat. Terdapat harapan dan tekanan dari masyarakat untuk memiliki anak, yang sering kali berkaitan dengan nilai-nilai tradisional yang konvensional.
Dialog tentang pilihan childfree masih terkendala, sering kali dipenuhi dengan argumen mengenai pentingnya keutuhan keluarga. Untuk mengurangi stigma, diperlukan diskusi yang lebih terbuka dan pemahaman yang lebih mendalam tentang pilihan ini.
Pendidikan dan kampanye kesadaran bisa menjadi cara efektif dalam menanggulangi stigma yang ada. Semakin banyak orang membagikan pengalaman mereka mengenai keputusan hidup tanpa anak, diharapkan pilihan ini akan semakin diterima dalam masyarakat.
Dalam mencapai tujuan ini, keberadaan komunitas dan platform yang mendukung keputusan hidup childfree diharapkan dapat membantu mengubah pandangan masyarakat menjadi lebih positif dan mendukung kemajuan sosial.